Jakarta (8/8). Setiap 8 Agustus, Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN memperingati hari jadinya ke-54. Brunei Darussalam yang menjadi ketua ASEAN pada 2021 ini, mengangkat tema “Kami Peduli, Kami Siap, Kami Sejahtera”.
“Tema ini relevan dengan kondisi saat ini, pandemi Covid-19 masih menjadi masalah kesehatan dan ekonomi yang besar di Asia Tenggara, sementara itu wilayah Asia Tenggara juga terimbas konflik Laut China Selatan. Di sisi lain, terdapat ketegangan politik di dalam negeri di antara anggotanya, yang butuh perhatian ASEAN,” ujar Ketua DPP LDII KH Chriswanto Santoso.
Menurut Chriswanto, ASEAN tak hanya perhimpunan negara sehingga hanya para kepala negara dan pemerintahan yang peduli. ASEAN adalah juga milik rakyat yang berada di kawasan Asia Tenggara, “Masyarakat Indonesia berdiaspora di berbagai wilayah Asia Tenggara, demikian pula dari negara-negara ASEAN lainnya ada di Indonesia. Kerukunan, kekompakan, dan kerja sama yang baik menciptakan ketenangan bagi warga yang berdiaspora itu,” ujarnya.
ASEAN yang dibentuk pada 8 Agustus 1967, menurut Chriswanto muncul saat Perang Dingin yang menghangat. Benang merah lainnya yang menyatukan ASEAN adalah latar belakang mereka, sebagai negeri bekas jajahan Barat, “Dalam tubuh ASEAN saat itu muncul kesadaran pula mengenai kesetaraan, pentingnya saling membantu dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya,” ujar Chriswanto.
Imperialisme dan kolonialisme yang ditanggung rakyat yang ada di Asia Tenggara sangat berat. Dari perasaan senasib itu dan menghadapi tantangan global era Perang Dingin, mendorong sosio-nasionalisme di kalangan ASEAN, “ASEAN dengan sosio-nasionalismenya ingin aktif dalam mewujudkan perdamaian sosial dan kesejahteraan bersama,” ujar Chriswanto.
Ia mengatakan, sosio-nasionalisme ASEAN direpresantasikan dalam deklarasi yang menyatakan, ASEAN adalah kehendak kolektif negara-negara Asia Tenggara untuk mengikat diri bersama, dalam persahabatan dan kerja sama, “Deklarasi itu juga menunjukkan sosio-nasionalisme yang kuat, yang ditunjukkan dalam kalimat: “melalui upaya dan pengorbanan bersama, memberikan keamanan bagi rakyat, untuk perdamaian, kebebasan, dan kemakmuran”,” imbuhnya.
Sosio-nasionalisme, Chriswanto mengutip Bung Karno bukanlah kecintaan terhadap negara dalam arti sempit atau chauvinisme tapi menolak penindasan atas bangsa lain, “Hidup berdampingan saling membantu dan menghargai, itulah bagian dari sosio-nasionalisme,” ujarnya.
Senada dengan KH Chriswanto Santoso, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro (Undip) Prof.Singgih Trisulistyono, menganggap sosio-nasionalisme atau nasionalisme abad 20 masih relevan diterapkan pada abad 21 ini, “Terutama dalam konteks ASEAN,” ujarnya.
Singgih mengatakan, dunia yang kian borderless tak menghilangkan negara bangsa (Nation-state) sebagai kesatuan politik dan mewujudkan cita-cita kebangsaan mereka, “Kemakmuran, kebersamaan, kerja sama, proteksi dan sebagainya harus terwujud dalam negara bangsa dalam menghadapi globalisasi yang memerlukan kerja sama dan persahabatan, untuk keamanan dan kesejahteraan rakyatnya” ujar Singgih yang juga Ketua DPP LDII.
Menurutnya, sejarah telah memberi pelajaran, negara-negara yang mementingkan diri sendiri tanpa menghiraukan negara lain, terperangkap dalam Perang Dunia II, “Negara-negara di kawasan Eropa saat itu terlalu fokus dan total memperhatikan diri sendiri, terhadap masalah bersama di kawasan Eropa. Akhirnya buah mementingkan diri sendiri adalah kehancuran Eropa dan dunia,” pungkas Singgih.
Kerja sama ASEAN kian penting, apalagi dengan dukungan internet segalanya kian mudah, “Sosio-nasinalisme abad 21 di ASEAN sangat memungkinkan. Dengan dukungan internet kerja sama tak hanya dilakukan oleh government to goevernment tapi juga people to people. Warga di kawasan ASEAN bisa mengambil inisiatif kerja sama,” ujar Singgih.
Strategisnya Koordinasi ASEAN
Dalam satu dekade terakhir, ASEAN menghadapi imbas dari krisis ekonomi di AS. Lalu, Covid-19 dan perang dagang antara AS dan China, mengakibatkan ekonomi di kawasan Asia Tenggara melamban, “Masalah internal akibat krisis kesehan dan ekonomi memaksa para pemimpin di kawasan Asia Tenggara fokus pada kinerja ekonomi domestik, inilah yang terkesan membuat kerja sama ASEAN memudar,” papar Singgih.
Dengan alasan perbaikan kinerja, justru menyebabkan sesama anggota ASEAN bersaing. Mereka berebut investasi asing yang keluar dari China akibat imbas perang dagang, “Bahkan Indonesia merasa kalah saingan dengan Vietnam, yang menerima paling banyak investasi asing limpahan dari perusahaan yang keluar dari Jepang dan China,” ujar Singgih.
Akibat urusan dalam negeri itulah, tidak memunculkan kepemimpinan yang kuat, yang membawa ASEAN sebagai benteng tangguh dalam pengendalian Covid-19 dan melindungi kepentingan geopolitik dan ekonomi di kawasan Asia Tenggara, “Para pemimpin ASEAN lebih fokus kepada negaranya masing-masing karena krisis mengakibatkan kekhawatiran secara psikologis di Asia Tenggara,” ujar Singgih. Tentu dalam kondisi tersebut, Singgih meragukan munculnya pemimpin-pemimpin Asia Tenggara sebagaimana pada awal terbentuknya ASEAN.
Menurut Singgih kekompakan dan oordinasi ini sangat penting dan strategis. Mengingat warga negara anggota ASEAN bermigrasi dengan mudah di kawasan Asia Tenggara. Ia melihat pentingnya kebijakan yang bersifat koordinatif, agar Covid-19 bisa diatasi bersama-sama, “Tidak mungkin wabah global di atasi oleh satu negara sendirian, perlu kerja sama dan tidak mengabaikan negara-negara dalam satu regional,” paparnya.
Bahkan, menurut Singgih, negara-negara di ASEAN bisa menerapkan lockdown bersama selama sebulan atau dua bulan untuk memutus rantai penyebaran Covid-19. Pendek kata, kekompakan dan koordinasi sangat penting di kawasan Asia Tenggara, sehingga bisa menjadi benteng tangguh dari penyebaran Covid-19.
Menurut Singgih, imbas tak adanya koordinasi tersebut, imbasnya Indonesia menjadi episentrum wabah Covid-19, “Karena tak ada koordinasi, warga negara Indonesia sering dicurigai, karena tidak ada kepemimpinan yang kuat di ASEAN. Negara-negara kawasan ini lebih mementingkan diri sendiri,” ujar Singgih.
Sejatinya, dengan koordinasi yang baik, ASEAN dapat menyelesaikan konflik Laut China Selatan. Meskipun terdapat perbedaan pendapat dan visi, “ASEAN punya kepentingan mendesak untuk mendamaikan AS dan China. Untuk itu ASEAN harus terus bergerak sebelum eskalasi konflik meningkat,” ujarnya.
Menurutnya, kepedulian, kekompakan, kerja sama, persahabatan, dan koordinasi menjadi modal kuat ASEAN agar kembali menjadi kekuatan yang signifikan dalam menjaga Asia Tenggara. [kim/*]
[…] 08/Aug/2021 ario […]