Semarang (30/10). Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Kota Semarang menggelar kegiatan Diskusi Panel Moderasi Beragama, Sabtu (29/10). Kegiatan tersebut dihadiri sejumlah narusumber. Mulai dari perwakilan Kemenag, MUI, PBNU, Muhammadiyah, dan perwakilan DPP LDII. Sejumlah materi mengenai moderasi beragama pun disampaikan.
Kegiatan yang dilaksanakan di Hotel Grasia, Jl. S. Parman, Gajahmungkur, Semarang ini menurut Ketua DPD LDII Kota Semarang Suhindoyo merupakan salah satu upaya mempertebal silaturrahim antar komponen bangsa demi kesatuan dan persatuan bangsa. “Moderasi beragama yang memupuk persatuan dan kesatuan sangat diperlukan sebagai pondasi pembangunan Indonesia khususnya Kota Semarang. Jadi keberagaman yang toleran ini adalah sebuah aset untuk menjadikan bangsa Indonesia lebih baik lagi. Bukan malah menjadi kendala dalam pembangunan,” ujar Suhindoyo.
Sementara itu, Sekda Kota Semarang, Iswar Aminuddin dalam sambutannya mengapresiasi diskusi moderasi beragama tersebut.
Menurutnya, Kota Semarang merupakan salah satu kota yang memiliki keberagaman yang majemuk. Sehingga keberagaman yang ada harus dibungkus dengan toleransi untuk menjaga persatuan dan kesatuan. “Dengan persatuan dan kesatuan yang kuat ini menjadi salah satu modal dalam pembangunan Kota Semarang untuk menjadi lebih baik dan hebat lagi,” terangnya.
Terkait kehidupan beragama di Indonesia, Ketua DPP LDII Bidang Hubungan Antar Lembaga Singgih Tri Sulistiyono mengatakan toleransi dan kesetaraan itu merupakan suatu kondisi yang harus ada dan dituntut dalam kehidupan pada era pascarevolusi industri 4.0.
“Mengapa itu merupakan suatu syarat mutlak, sebab kalau ketiadaan toleransi itu akan menimbulkan bibit konflik. Dan konflik di era kemajuan teknologi ini akan sangat membahayakan keberlangsungan hidup manusia,” ujarnya.
Menurutnya, saat ini, manusia sudah menemukan teknologi yang sangat canggih sehingga konflik yang tidak terkendali bisa berubah menjadi kekerasan dan perang, yang akibatnya lebih berbahaya daripada yang pernah terjadi selama perang dunia pertama dan kedua.
“Selanjutnya, sikap toleransi kesetaraan ini perlu dikembangkan melalui semangat intercultural relationship, dimana kelompok-kelompok yang ada di masyarakat yang mungkin memiliki identitas yang berbeda-beda,” urainya.
Guru Besar Sejarah Universitas Diponegoro (Undip) itu juga menyebut, tidak hanya hidup berdampingan secara damai tetapi tradisi, dialog, dan silaturahim dalam rangka untuk membangun kerjasama dalam mencapai tujuan bersama perlu diberdayakan dan dikembangkan. “Sehingga cita-cita masyarakat Indonesia dalam konteks masyarakat global yaitu membangun masyarakat yang adil, makmur, sejahtera kemudian kompak rukun gotong royong itu bisa terwujud dengan baik,” ungkapnya.
Sementara itu, dalam konteks keislaman toleransi menggunakan dasar nilai-nilai ‘Lakum Dinukum Waliyadin’ – bagimu agamamu dan bagiku agamaku – itu kaitannya dengan perbedaan agama antara Islam dan non Islam. “Kemudian perbedaan internal di dalam Islam mungkin ada organisasi-organisasi kemasyarakatan yang berbeda,” tambahnya.
Selanjutnya, yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam bertoleransi adalah ‘Walana akmaluna walakum akmalukum’ bagi kami adalah amalan kami, bagi Anda sekalian silahkan beramal sesuai dengan keyakinan dan kemantapannya.
“Tapi kita tetap bekerjasama dalam konteks ukhuwah Islamiyah, ukhuwah watoniyah, ukhuwah basariyah, dengan mengedepankan hidup bersama dalam suatu suasana toleransi dan kesetaraan,” tutupnya. (kim)