Jakarta (4/10). Tantangan bangsa ke depan semakin kompleks, bukan hanya ancaman militer konvensional, tetapi juga ancaman non-militer seperti perang siber, disinformasi, radikalisme, dan krisis energi serta pangan. TNI harus mampu adaptif dan terus berinovasi menemukan cara baru untuk menghadapi perang non-konvensional tersebut.
Pernyataan tersebut ditegaskan Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso, berkaitan dengan Hari Ulang Tahun Tentara Nasional Indonesia (HUT TNI). Ia juga menambahkan pentingnya sisi religiusitas anggota TNI, “TNI harus tetap waspada, tidak boleh lengah, dan selalu menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Profesionalisme harus berjalan beriringan dengan penguatan moral dan spiritual prajurit,” tegasnya.
Anggota TNI yang selalu berada di garis depan wilayah konflik, menurut KH Chriswanto harus diperkuat dengan iman dan takwa, agar bisa sabar dan terus menggunakan hati nurani saat melaksanakan tugas tempur maupun di masa damai. Ia juga menegaskan perlunya sinergi antara TNI dan ormas keagamaan dalam membangun ketahanan bangsa.
“Kami berkomitmen mendukung TNI melalui pembinaan generasi muda agar berkarakter religius, nasionalis, dan cinta tanah air. Kami meyakini, kekuatan bangsa tidak hanya ditentukan oleh alutsista yang modern, tetapi juga oleh akhlak, iman, dan keteguhan moral rakyatnya,” tambahnya.
Namun, KH Chriswanto juga mengingatkan agar TNI senantiasa berdiri di atas kepentingan bangsa, bukan kepentingan politik sesaat. “TNI harus netral, tegak lurus pada UUD 1945, dan menjadi pengawal demokrasi. Jangan sampai kekuatan TNI dimanfaatkan oleh pihak tertentu. Kesetiaan TNI hanya kepada rakyat dan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua DPP LDII, Prof Singgih Tri Sulistiyono, menilai peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) TNI ke-80 menjadi momentum penting untuk merefleksikan perjalanan panjang Tentara Nasional Indonesia sejak 5 Oktober 1945 hingga kini menjadi institusi pertahanan modern.
Menurutnya, TNI telah mengalami transformasi besar. Pada masa revolusi (1945–1949), TNI tampil sebagai garda bangsa mempertahankan kemerdekaan. Era 1950–1965 ditandai konsolidasi dan penumpasan pemberontakan, namun juga muncul peran ganda militer. Pada masa Orde Baru, TNI menjadi pilar kekuasaan dengan kekuatan politik dominan, meski kemudian dikritik karena melahirkan otoritarianisme. Reformasi 1998 menjadi titik balik ketika dwifungsi dicabut, TNI dipisahkan dari Polri, dan diarahkan kembali ke profesionalisme.
“Sekarang TNI bergerak menuju militer profesional yang modern melalui modernisasi alutsista, peningkatan kualitas SDM, dan keterlibatan dalam diplomasi pertahanan global,” ujar Singgih yang juga menjadi Guru Besar Sejarah Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang.
Terkait tema HUT TNI ke-80 tahun ini yang menekankan profesionalisme, modernisasi, dan kedekatan dengan rakyat, Singgih menyebut hal tersebut selaras dengan sejarah TNI. Sejak awal kemerdekaan, TNI lahir dari rakyat dan berjuang bersama rakyat. Reformasi kemudian menegaskan kembali peran profesionalnya, sementara modernisasi menjadi kebutuhan untuk menjawab tantangan pertahanan di era teknologi baru.
“Profesionalisme berarti komitmen netralitas politik dan peningkatan kualitas prajurit. Modernisasi adalah syarat menghadapi spektrum ancaman baru. Sedangkan kedekatan dengan rakyat adalah pengingat jati diri historis TNI sebagai tentara yang lahir dari rakyat dan untuk rakyat,” ungkapnya.
Singgih juga menyoroti visi TNI di usia ke-80 yang mengusung jargon PRIMA (Profesional, Responsif, Integratif, Modern, dan Adaptif). Menurutnya, visi tersebut bukan konsep baru, melainkan kelanjutan dari identitas historis TNI sejak 1945. Sejak awal, TNI terbukti responsif dan adaptif ketika harus bertransformasi dari laskar rakyat menjadi tentara nasional.
“Watak integratif TNI terlihat ketika berhasil menjaga keutuhan NKRI dengan menumpas pemberontakan di berbagai daerah. Kini, dengan tantangan global seperti ancaman siber dan geopolitik Indo-Pasifik, TNI harus makin modern dan adaptif,” jelasnya.
Ia melanjutkan, dengan memahami sejarah TNI, generasi muda akan sadar, mereka bagian dari mata rantai panjang perjuangan bangsa, “Mereka punya tanggung jawab melanjutkan cita-cita menjaga kedaulatan, persatuan, dan martabat Indonesia,” pungkas Singgih. (*)